Anon

Dulu, diam adalah segalanya bagiku. Baik dan damai menurutku. Setiap hentak dan bentak, kecewa dan nestapa, rasanya hanya bisa kupendam tanpa suara. 

Sampai kujumpa ia, dingin tapi sedikit hangat. Mulai ku kenalkan setiap kata kepada dunia luar. Kasihan, sebelumnya kata kataku selalu ku penjarakan dalam kepala dan dada. 

Aku mulai bisa berbicara dan mengutarakan setiap rasa, karena ia. Rumah, adalah gambaran bagiku untuknya. Rasanya ingin sekali bercerita tanpa sela kepadanya. Hidupku mulai terasa mudah dan semakin mudah.

Tapi, manusia memang selalu bisa berubah. Aku pun sama. Ia menjadi beda. Rasa kecewa mulai mengendalikan emosi dan ragaku.
Tiga tahun, tapi mengapa ragu yang semakin datang?

Ketika ku mulai berpendapat, selalu buruk yang ia tangkap. Apa karena ia mulai mendewakan kesibukannya? Berkecimpung dengan diri sendiri dan lingkungan barunya. Sampai lupa tempat ia berkeluh sebelumnya. Aku yang harus mengerti, tanpa balasan dimengerti. Bukan ingin imbalan, tapi bukankah sepantasnya menerima dan memberi dalam ikatan kami yang menuju suci? 

Semakin hari, rasanya semakin tidak perlu lagi aku bicara. Apa memang kata kataku harus kembali ku penjarakan?

Aku rasa, diam memang tetap menjadi hal yang baik untukku. Aku rasa, memendam rasa adalah teman terbaikku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Faded

Warna Aura

It's About One Direction